[MASIH TENTANG MEGA]
Seperti saya tulis kemarin, ditahannya sejumlah kader populer PDI-P untuk masuk ke kabinet adalah cara Megawati untuk membendung menguatnya "Blok Jokowi", yang disebutnya sebagai telah dipengaruhi oleh para penumpang gelap dari luar partai. Makanya, tidak ada satupun kader PDI-P, terutama yang bisa dianggap sebagai "pendukung Jokowi", yaitu mereka yang sejak dini mendesak agar partai segera mencapreskan Jokowi sebelum Pileg dihelat, yang berhasil direkrut jadi menteri.
Jangan lupa, pencapresan Jokowi pada Maret 2014 telah membuat Mega menelan ludahnya sendiri, karena sebelumnya ia selalu mengatakan bahwa calon presiden PDI-P akan diumumkan sesudah Pileg selesai digelar. Belum lagi jika mempertimbangkan Perjanjian Batutulis yang ditandatangani Mega dengan Prabowo.
Memaksa Mega untuk menelan ludahnya sendiri berarti sudah mempermalukannya. Sayangnya, para pendukung Jokowi, terutama yang berasal dari elite PDI-P, mungkin tak memperhitungkan konsekuensi hal itu. Tapi mungkin juga mereka mengabaikannya.
Sepertinya tak perlu lagi kita bahas, bahwa seandainya para pendukung Jokowi tadi bisa masuk ke kabinet, dengan sumber daya dan fasilitas negara yang dikuasainya, serta dalam kapasitas mereka sebagai pimpinan DPP, mereka tentu punya amunisi yang cukup untuk membuat perubahan dalam kongres di Bali kali ini. Mega tahu betul risiko itu, sehingga sejak awal dia sudah membendung mereka, termasuk bila perlu dengan mempermalukan balik, sebagaimana misalnya yang telah dialami oleh Maruarar Sirait pada pengumuman kabinet tempo hari.
Jadi, tersingkirnya nama-nama pendukung Jokowi dari kursi kepengurusan DPP PDI-P periode 2015-2020 juga tak perlu diherankan, karena itu hanyalah terusan saja dari proses pembersihan yang sudah dimulai Mega sejak Oktober 2014 silam. Tanpa kursi kabinet dan tanpa jabatan di DPP, mereka, yaitu para pendukung Jokowi di dalam partai, tak akan bisa mengusik Mega dan kandang banteng, paling tidak hingga lima tahun ke depan.
Ya, Mega mungkin otoriter. Tapi mereka yang telah mempermalukannya kemarin jelas juga bukan tipikal politisi yang punya fatsoen. Ke depan, mari kita lihat, apakah orang-orang yang tersingkir itu akan berusaha membentuk sekoci baru atau tidak.
Selamat berakhir pekan, Pemirsa.
*dari fb Tarli Nugroho (11/4/2015)
Seperti saya tulis kemarin, ditahannya sejumlah kader populer PDI-P untuk masuk ke kabinet adalah cara Megawati untuk membendung menguatnya "Blok Jokowi", yang disebutnya sebagai telah dipengaruhi oleh para penumpang gelap dari luar partai. Makanya, tidak ada satupun kader PDI-P, terutama yang bisa dianggap sebagai "pendukung Jokowi", yaitu mereka yang sejak dini mendesak agar partai segera mencapreskan Jokowi sebelum Pileg dihelat, yang berhasil direkrut jadi menteri.
Jangan lupa, pencapresan Jokowi pada Maret 2014 telah membuat Mega menelan ludahnya sendiri, karena sebelumnya ia selalu mengatakan bahwa calon presiden PDI-P akan diumumkan sesudah Pileg selesai digelar. Belum lagi jika mempertimbangkan Perjanjian Batutulis yang ditandatangani Mega dengan Prabowo.
Memaksa Mega untuk menelan ludahnya sendiri berarti sudah mempermalukannya. Sayangnya, para pendukung Jokowi, terutama yang berasal dari elite PDI-P, mungkin tak memperhitungkan konsekuensi hal itu. Tapi mungkin juga mereka mengabaikannya.
Sepertinya tak perlu lagi kita bahas, bahwa seandainya para pendukung Jokowi tadi bisa masuk ke kabinet, dengan sumber daya dan fasilitas negara yang dikuasainya, serta dalam kapasitas mereka sebagai pimpinan DPP, mereka tentu punya amunisi yang cukup untuk membuat perubahan dalam kongres di Bali kali ini. Mega tahu betul risiko itu, sehingga sejak awal dia sudah membendung mereka, termasuk bila perlu dengan mempermalukan balik, sebagaimana misalnya yang telah dialami oleh Maruarar Sirait pada pengumuman kabinet tempo hari.
Jadi, tersingkirnya nama-nama pendukung Jokowi dari kursi kepengurusan DPP PDI-P periode 2015-2020 juga tak perlu diherankan, karena itu hanyalah terusan saja dari proses pembersihan yang sudah dimulai Mega sejak Oktober 2014 silam. Tanpa kursi kabinet dan tanpa jabatan di DPP, mereka, yaitu para pendukung Jokowi di dalam partai, tak akan bisa mengusik Mega dan kandang banteng, paling tidak hingga lima tahun ke depan.
Ya, Mega mungkin otoriter. Tapi mereka yang telah mempermalukannya kemarin jelas juga bukan tipikal politisi yang punya fatsoen. Ke depan, mari kita lihat, apakah orang-orang yang tersingkir itu akan berusaha membentuk sekoci baru atau tidak.
Selamat berakhir pekan, Pemirsa.
*dari fb Tarli Nugroho (11/4/2015)