Nasib Beras Basah ke depannya sudah menemui titik terang. Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni menyetujui penutupan ikon Kota Taman itu. Pasalnya, selama Beras Basah dibuka pun, tidak ada kontribusi yang masuk ke Bontang. Apalagi, dengan kondisi yang sudah tidak terawat.
Pernyataan ketua DPD II Golkar Bontang ini bertolak belakang dengan apa yang disampaikan anggota dewan. Sebelumnya, wakil ketua DPRD Bontang, Faisal serta ketua Fraksi Golkar H Nursalam menyatakan penolakannya terkait penutupan Beras Basah. Pernyataan keduanya diterbitkan di Bontang Post edisi Rabu 08 Juni 2016 dengan judul: “DPRD Tolak Penutupan Beras Basah”.
Neni mengatakan, ada komitmen antara Pemkot Bontang dengan Badak LNG. Di mana, jika Beras Basah ditutup, pihaknya meminta lahan milik Badak LNG yang berada di Jalan Cipto Mangunkusumo (eks Jalan Pupuk Raya) untuk dijadikan alun-alun Bontang.
“Karena harus ada kompensasinya,” tegas Neni, di hadapan wartawan saat menggelar konferensi pers di rumah jabatan, terkait Program 100 Hari Neni-Basri Memimpin Bontang, Rabu (22/6) lalu.
Menurutnya, Beras Basah saat ini menjadi sangat kecil, terus menyusut, dan tidak terurus. Sementara masyarakat yang tinggal di Beras Basah pun tidak ada komitmennya. Sehingga solusinya lebih baik ditutup untuk alur navigasi nasional.
“Menurut saya itu (Beras Basah, Red) harus ditutup. Karena sudah diberi kelonggaran, masyarakat masih seperti itu, tidak menjaganya, kotor lagi, kotor lagi. Dulu sempat janji tetapi tidak bisa komitmen,” sesalnya.
Kata dia, melihat kondisi Beras Basah saat ini, tentu tak akan menarik minat pengunjung. Karena orang yang sudah datang ke Beras Basah tak akan datang dua kali jika melihat kondisinya masih seperti itu.
“Justru nanti timbul kekecewaan dari wisatawan, karena tidak sesuai dengan gambarnya. Dulu gambarnya cantik, begitu datang kumuh sekali,” ungkapnya.
Tetapi, jika hanya sekadar untuk wisata bawah laut berupa diving, Neni mempersilakan. Untuk alternatif wisata lainnya, Neni menyebut masih ada destinasi wisata lainnya seperti Sungai Belanda, Pulau Segajah, dan masih banyak lainnya.
“Sepanjang itu untuk kepentingan NKRI, untuk kepentingan Indonesia harus ada sikap tegas dari pemerintah. Karena Pertamina atau Badak LNG juga ada alasan-alasan tertentu saat meminta Beras Basah ditutup, tak ada juga PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya sama sekali, yang ada banyak sampah,” tutupnya.
Sebelumnya, pernyataan realistis juga disampaikan Wakil Wali Kota Bontang, Basri Rase. Senada dengan Neni, sejatinya Basri berat menutup Beras Basah. Namun, dia yakin jika dampak positif yang ditimbulkan dari kilang itu akan berpengaruh juga bagi warga Bontang.
“Sabtu-Minggu itu yang datang rata-rata dari luar Bontang, baik itu dari Jakarta, Surabaya juga wilayah lainnya. Rencana saya dengan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Bontang, harus mencari destinasi wisata lainnya jika Beras Basah terpaksa ditutup,” jelas Basri, beberapa waktu lalu.
Tetapi, lanjut Basri, ketika kilang betul-betul sudah beroperasi di Bontang, tentu alur kapal menjadi cepat. Basri pun meyakinkan dan menjamin untuk membuat kebijakan yang tentu manfaatnya jauh lebih besar dari sekadar kunjungan wisatawan.
“Kami dengan Bappeda sudah mau melakukan kunjungan untuk mencari tempat wisata lain, walaupun bukan di sekitar alur ini,” ujarnya. Menurutnya, alur lalu lintas dari dan menuju Beras Basah berbahaya. Tim terpadu dari Badak LNG, Pemkot Bontang, dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) akan melakukan antisipasi. Karena pihaknya tidak mau menunggu kecelakaan terjadi sebelum ditutup.
Sebagai informasi, apa yang disampaikan Neni dan Basri ini sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bahkan, kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) Kls I (Syahbandar) Tanjung Laut Bontang, sudah sejak lama mengingatkan jalur ke kawasan wisata ini berbahaya. Salah satunya merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian. Dalam regulasi itu dijelaskan jika 1.750 meter dari jarak bangunan sarana bantu navigasi pelayaran tidak boleh ada aktivitas.
Kepala Kantor UPP Tanjung Laut, Hutasoit mengatakan, di Beras Basah ada sarana bantu navigasi pelayaran. Biasa disebut mercusuar atau menara suar. Menurutnya, kalaupun Beras Basah tetap dipertahankan, Pemkot Bontang diminta membuat jalur baru menuju ikon Kota Taman tersebut.
Dijelaskannya, dalam PP 5/2010 bagian kelima, yakni Zona Keamanan dan Keselamatan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, Pasal 38 ayat 3 a tertuang bahwa, zona terlarang pada area 500 meter dihitung dari sisi terluar instalasi atau bangunan sarana bantu navigasi-pelayaran. Kemudian, pada Ayat 3 b berbunyi, zona terbatas pada area 1.250 meter dihitung dari sisi terluar zona terlarang atau 1.750 meter dari titik terluar instalasi atau bangunan sarana bantu navigasi-pelayaran.
“Sehingga, mengacu pada PP 5/2010, bahwa 1.750 meter dari bangunan sarana bantu navigasi pelayaran tersebut, tidak boleh ada aktivitas atau kegiatan,” kata Hutasoit, didampingi Kasi Lalu Lintas Laut dan Pelayanan Jasa, Pantas Sihombing; serta Kasi Faspel dan Keamanan Agus, awal bulan lalu kepada Bontang Post.
Sihombing menambahkan, dalam Pasal 38 ayat 5 disebutkan, pada zona terbatas sebagaimana dimaksud ayat 3 huruf b dapat dilakukan pembangunan instalasi atau bangunan lainnya dengan ketentuan tidak mengganggu fungsi dan sistem sarana bantu navigasi pelayaran. “Namun, tentunya harus mendapat izin dari menteri terkait,” kata Sihombing.
Dengan demikian, pelabuhan yang ada di Badak LNG merupakan terminal khusus untuk kepentingan sendiri. Sehingga, alur yang ada pun dikelola Badak LNG, dan alur yang digunakan menuju Beras Basah sebagian menggunakan alur Badak LNG. “Pelabuhan Badak LNG adalah pelabuhan sterilisasi. Artinya, alur pelayarannya harus steril. Karena kami juga tergabung dalam International Maritime Organization (IMO), dan sterilisasi alur pun, harus mendapat pengakuan dari IMO karena sudah menyangkut skala internasional,” terang dia.
Diterangkan Sihombing, dari aspek keselamatan pelayaran, sebenarnya syahbandar perlu dilibatkan dalam rapat percepatan pembangunan kilang. Karena, ada amanat PP 5/2010. “Kapal yang masuk ke terminal khusus Badak LNG itu bukan lagi kapal dari Surabaya ataupun Mamuju, melainkan dari luar negeri. Sehingga risikonya tinggi,” tegasnya waktu itu. Sementara, kapal yang digunakan untuk transportasi menuju Beras Basah itu memiliki tonase di bawah gross tonnage (GT) 7.
“Kapal di bawah GT 7, pengelolaannya bukan pada ranah kami, melainkan Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika (Dishubkominfo) Bontang. Sangat berbahaya sekali jika ada kapal asing mau masuk, tetapi ada kapal kecil menuju Beras Basah juga melintas. Sehingga, kemungkinan buruknya, kapal-kapal asing menolak masuk karena alur Badak LNG dinilai tidak aman,” paparnya lagi.
Kapal kecil di bawah GT itu merupakan kapal ikan, bukan penumpang. Adapun yang masuk kategori kapal penumpang, sambung Agus, hanya ada dua. Itu pun dilengkapi alat keselamatan dari Dishubkominfo Bontang. Untuk asosiasi kapal di Pelabuhan Tanjung Laut, pihaknya juga meragukan legalitasnya. Tetapi ditegaskan, kapal di bawah GT 7 bukan lagi kewenangannya.
“Intinya, jalur yang digunakan oleh kapal kecil menuju Beras Basah itu merupakan jalur Badak LNG dan sangat berbahaya, sedangkan kapal-kapal penumpang yang digunakan pun belum memenuhi standar,” tegasnya.
Diketahui, letak Beras Basah berada di Selat Makassar, dengan titik koordinat 0°3’51″N 117°33’33″E. Letaknya di antara kawasan kilang Badak LNG dan Pulau Segajah yang muncul saat laut surut, dan menghilang saat laut pasang.
Beras Basah dianggap dapat menghambat aktivitas pelayaran laut terkait proyek pengembangan kilang di Bontang. Sehingga, untuk menghindari dan mengantisipasi kecelakaan (laka) laut, PT Pertamina (persero) sebagai operator pembangunan kilang menyarankan agar aktivitas di sana dihentikan.
Usul Pertamina menutup Beras Basah sudah mulai bergulir sejak 2013. Alasannya, aktivitas di Beras Basah berbahaya bagi lalu lintas kapal dari dan ke Badak LNG. Selain itu, PP 2/2010 tentang Kenavigasian mengatur aktivitas di jalur kapal. Di pulau tersebut juga terdapat alat navigasi yang seharusnya bebas dari aktivitas.
Berdasarkan data yang diperoleh Bontang Post, dari segi kepemilikan, Beras Basah adalah milik negara cq Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan PT Pertamina sebagai asset manager. Soal boleh tidaknya aktivitas pelayaran sudah ada aturannya. Itu merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 17/2008 tentang Pelayaran, PP 61/2009 tentang Kepelabuhanan, dan PP 5/2010 tentang Kenavigasian.
Di Badak LNG memang ada pelabuhan khusus. Berdasarkan UU 17/2008, dijelaskan jika pelabuhan khusus adalah terminal di luar Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai usaha pokoknya.
DLKr adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan. Sedangkan DLKp adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
Nah, sejarah soal Beras Basah sendiri bermula dari tahun 1974. Saat itu, Badak LNG didirikan oleh Pertamina dan pemegang saham lainnya. Saat didirikan, seluruh aset dikelola oleh Badak LNG. Namun, karena sifatnya integrasi sistem, alias tak hanya mengolah tapi juga mengirim, makanya dibangun pelabuhan khusus. Gas saat itu dikirim ke luar negeri seperti Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan lainnya.
Dalam proses pembangunan pelabuhan, ada ketentuan yang harus dilalui, salah satunya adalah navigasi. Setelah navigasi diukur koordinatnya, ternyata Beras Basah kena. Kemudian, pada 5 Agustus 1976, Pertamina izin ke Gubernur Kaltim dan Bupati Kutai untuk membebaskan lahan di Beras Basah. Lalu, di sana dibangun mercusuar sebagai sarana bantu navigasi. Sampai sekarang, Beras Basah jadi kawasan Badak LNG. Area kilang pun kepemilikannya oleh Pertamina.
Namun, sejak muncul UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, seluruh aset Pertamina termasuk Badak LNG dan Beras Basah dikuasasi oleh negara. Dalam pengelolaan gasnya, Pertamina tidak lagi jadi regulator, melainkan sebagai operasional manajemen dan Badak LNG sebagai operator saja.
Melalui Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) 92/2008, akhirnya diputuskan jika aset Pertamina di area Badak LNG termasuk Beras Basah dikuasai oleh pemerintah pusat cq Kemenkeu.
Vice President Asset Management Pertamina, Gatot Harsono, mengatakan transportasi laut akan mengatur soal itu. Jika dilihat alurnya, memang saat kapal masuk ke kilang sering terbawa ke arah Beras Basah. Sebetulnya dari aspek keselamatan, memang bukan salah satu tempat wisata yang aman, karena dikhawatirkan ada kapal menabrak pulau tersebut.
Menurut Gatot, Beras Basah harus dihentikan. Jika tidak, selain membahayakan alur kapal, orang yang berada di situ pun akan berbahaya.
“Siapa yang tahu kalau tiba-tiba kapal besar nyelonong atau menabrak pulau kecil itu? Manakala itu terjadi, atau manakala potensi itu muncul, kapal di luar yang akan membawa kilang tentu akan menolak. Kalau menolak, tidak ada gunanya lagi ada kilang di Bontang. Kami tidak mau, sebelum itu terjadi dengan cara dibuktikan dulu,” ujarnya.
Seperti diketahui, menurut cerita masyarakat dari turun temurun, nama Beras Basah muncul saat kapal Kesultanan Kutai yang membawa beras dari Sulawesi diterjang ombak besar. Khawatir tenggelam, awak kapal menurunkan muatan di pulau tersebut dan menjadi basah. Sebutan Beras Basah dipakai orang sejak saat itu. Tidak jelas apakah pernah ada perkampungan di pulau tersebut. Pulau ini sendiri pernah ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara pada 1990-an. Tapi, sejak 2000, pulau ini seolah kian terlupakan.
Penutupan Beras Basah juga didukung oleh pengusaha. Bos PT Zebra Suriah, H Syaiful Anwar mengungkapkan, kepentingan nasional harus diutamakan. Jangan sampai, kata dia, peluang besar pembangunan kilang di Bontang batal. “Saya lebih cenderung mendahulukan kepentingan secara nasional. Karena berkat Allah, Bontang dijadikan sebagai tempat pengolah migas terbesar di dunia, yang telah memberikan konstribusi untuk pusat dan daerah,” katanya.
Menurutnya, keberadaan industri tidak bisa dikesampingkan bagi kemajuan Bontang. “Kalau mau ditarik ke belakang, Bontang di tahun 1970-an sepi, melompong. Penghuninya hanya di Bontang Kuala dan Tanjung Laut. Karena saya putra daerah asli Bontang. Dan bersukur sekarang telah menjadi kota terkenal dengan adanya Badak LNG dan Pupuk Kaltim,” ujar pria yang juga ketua Kerukunan Keluarga Besar Asli Bontang (KKBAB) itu.
Dia pun menyarankan, demi keselamatan proyek kilang dan masyarakat, Beras Basah ditutup dan digantikan dengan pulau lainnya. “Saya menyarankan, pusat wisata dipindah dan diganti dengan Segajah. Kalau perlu, Segajah direklamasi,” kata.
Informasi saat ini, Syaiful bersama rekan-rekannya sesama pengusaha lainnya tengah sibuk mengerjakan proyek reklamasi Pulau Barelang, Batam. “Kebetulan saya lagi sibuk di Batam. Rencana bikin reklamasi Pulau Barelang. Reklamasi tidak serta-merta buruk. Ada sisi baiknya juga,” katanya.
Syaiful mengklaim, pro dan kontra soal Beras Basah wajar terjadi. Hal ini menjadi dilema karena sektor wisata sangat minim di Bontang. Dia pun mengenang saat dirinya mengerjakan proyek di sana. Menurutnya, kawasan itu memang masuk dalam alur pelayaran kapal besar.
“Saya masih ingat tahun 1973, pertama kali pemasangan rambu-rambu itu, saya dengan H Sayyid Ahmad al Habsyi di daerah Beras Basah, Tanjung Pendong, dan Kedindingan yang diperuntukan bagi jalur lalu lintas kapal gas LNG dari Bontang ke Jepang. Saat itu kami bersama staf LNG, Bapak Dr Musa dan Mr Gerri. Saat itu, Bontang masih hutan belantara dan Beras Basah tidak ada penghuninya,” katanya.
Maka dari itu, melihat sejarah Beras Basah, menurutnya memang harus ditutup dan digeser ke Segajah. “Kembali ke pokok Beras Basah, saya lebih cendrung mendahulukan kepentingan secara nasional,” katanya.
Pro dan kontra memang terjadi. Bagi yang menggantungkan hidup terhadap Beras Basah, jelas menolak penutupan. Pasalnya, setiap hari, pengunjung bisa mencapai 50 orang. Jika hari libur, jumlahnya meningkat hingga 10 kali lipat. “Apalagi kalau dekat Lebaran seperti ini. Kadang kapal harus empat kali bolak-balik,” kata Bustan, bendahara Asosiasi Transportasi Laut.
Bustan mengungkapkan, di Tanjung Laut terdapat 57 kapal yang terdaftar. Mereka sepenuhnya bergantung pada wisata ke Beras Basah. “Itu belum dari pelabuhan lain. Kalau Beras Basah ditutup, pemerintah harus memikirkan nasib kami,” katanya.
Apa yang jadi keluhan masyarakat ini langsung direspon oleh anggota dewan. Awal Juni lalu, sejumlah legislator menolak wacana penutupan Pulau Beras Basah demi memuluskan pembangunan kilang di Bontang. Bahkan, wacana penutupan tersebut dinilai mengada-ada dan tak berdasar.
Ketua Fraksi Golkar Nursalam misalnya, secara tegas dia menolak wacana penutupan Beras Basah. Menurutnya, tak ada bukti bahwa kunjungan masyarakat ke Beras Basah mengganggu alur pelayaran. Nursalam menganggap hipotesa dari Vice President Asset Management Pertamina, Gatot Harsono yang mengatakan kapal yang masuk ke kilang dapat terbawa arus ke Beras Basah tak masuk akal.
“Hipotesa itu butuh pembuktian, masih perlu diuji. Alasan yang disampaikan masih sepihak. Dan terkesan berlebihan,” kata Nursalam, Selasa (7/6) lalu.
Dia mencontohkan bahwa di daerah lain justru tak ada pulau yang ditutup akibat aktivitas pelayaran. Salah satunya adalah di Kepulauan Seribu, Jakarta. Di daerah tersebut mobilitas pelayaran cukup tinggi, tapi tak sataupun pulau yang ditutup karena hal tersebut.
“Banyak contoh lain, misalnya di Surabaya dan Sabang (Aceh),” katanya.
Saat ini Beras Basah merupakan ikon wisata Bontang. Sangat disayangkan jika ditutup. Opsi mengganti Beras Basah dengan mereklamsi Pulau Segajah dinilainya proyek mustahil. “Segajah itu berlumpur, bukan pasir seperti di Beras Basah. Kalaupun mau direklamsi itu nilainya besar, APBD Bontang enggak bakal cukup. Pasirnya mau ambil dari mana,” ujarnya.
Apabila Beras Basah ditutup bagi pengunjung agar tak mengganggu pelayaran untuk kilang, Nursalam menilai justru masih ada persoalan lain yang kemungkinan tak bisa dibendung. Yakni soal aktivitas nelayan dari Bontang yang melintas di area tersebut.
“Kalau misalnya ditutup untuk pengunjung, pertanyaannya, apa mampu ditutup untuk membatasi nelayan dari Bontang melintas di area itu?,” ketusnya.
Itu sebabnya wacana penutupan Beras Basah menurutnya hanya penggiringan opini dari Badak LNG dan Pertamina. Padahal, persoalan wacana pembangunan kilang lebih krusial terkait penyediaan lahan.
Hal senada juga disampaikan Faisal. Politisi Nasdem itu juga tak setuju wacana penutupan Beras Basah. “Beras Basah sudah menjadi ikon. Sejak kecil saya sudah sering ke sana. Kok seenaknya saja mau ditutup. Kami tidak setuju,” tegasnya.
Dia juga mengaku siap mendukung para nelayan untuk menolak wacana penutupan Beras Basah. “Nelayan dari Selambai dan sekitarnya juga siap untuk melawan apabila Beras Basah akan ditutup,” tandasnya. (mga)
Sumber : Bontang Prokal