Jima atau hubungan seksual adalah salah satu kebutuhan dasar manusia layaknya makan dan tidur. Namun, jima hanya diperbolehkan hanya setelah menikah oleh suami istri yang sah. Jika melakukan jima di luar nikah, maka itu termasuk zina dan merupakan dosa besar.
Setelah menikah bukan berarti bebas dari masalah, apalagi terkait dengan urusan ranjang yang menjadi hal pokok dalam hubungan suami istri. Tak jarang ada suami yang tidak mampu melakukan jima karena berbagai hal. Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini?
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Menurut Ibnu Hazm:
“Suami wajib menyetubuhi istrinya dan sekurang-kurangnya satu kali dalam setiap bulan jika ia mampu. Kalau tidak, dia berarti durhaka kepada Allah.”
Mayoritas ulama sependapat dengan Ibnu Hazm tentang kewajiban suami menyetubuhi istrinya jika ia tidak memiliki halangan apa-apa.
Menurut Imam Syafi’i, hal ini tidaklah wajib karena menjima istrinya itu menjadi haknya. Jadi, ia tidak wajib menggunakan haknya ini seperti halnya dengan hak-hak lain.
Adapun Imam Ahmad menetapkan ketentuan empat bulan sekali bahwa suami diwajibkan menjimak istrinya karena Allah telah menetapkan dalam tempo ini hak bagi bekas budak. Jadi demikian juga berlaku bagi yang lain-lain. Jika suami meninggalkan istrinya kemudian tidak kembali tanpa halangan apa-apa, Imam Ahmad memberikan batas waktu 6 bulan.
Karena itu ia pernah ditanya “Berapa batas suami meninggalkan istrinya?” Ia menjawab, “6 bulan, jika ia tidak mau kembali setelah 6 bulan, pengadilan boleh menceraikan antara keduanya. Alasannya, ialah hadits riwayat Abu Hafsh dengan sanad Zaid bin Aslam yang berkata, “Ketika Umar Ibnu Khaththab meronda di kota Madinah, ia melewati halaman rumah seorang perempuan yang sedang bersenandung:
Setelah menikah bukan berarti bebas dari masalah, apalagi terkait dengan urusan ranjang yang menjadi hal pokok dalam hubungan suami istri. Tak jarang ada suami yang tidak mampu melakukan jima karena berbagai hal. Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini?
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Menurut Ibnu Hazm:
“Suami wajib menyetubuhi istrinya dan sekurang-kurangnya satu kali dalam setiap bulan jika ia mampu. Kalau tidak, dia berarti durhaka kepada Allah.”
Mayoritas ulama sependapat dengan Ibnu Hazm tentang kewajiban suami menyetubuhi istrinya jika ia tidak memiliki halangan apa-apa.
Menurut Imam Syafi’i, hal ini tidaklah wajib karena menjima istrinya itu menjadi haknya. Jadi, ia tidak wajib menggunakan haknya ini seperti halnya dengan hak-hak lain.
Adapun Imam Ahmad menetapkan ketentuan empat bulan sekali bahwa suami diwajibkan menjimak istrinya karena Allah telah menetapkan dalam tempo ini hak bagi bekas budak. Jadi demikian juga berlaku bagi yang lain-lain. Jika suami meninggalkan istrinya kemudian tidak kembali tanpa halangan apa-apa, Imam Ahmad memberikan batas waktu 6 bulan.
Karena itu ia pernah ditanya “Berapa batas suami meninggalkan istrinya?” Ia menjawab, “6 bulan, jika ia tidak mau kembali setelah 6 bulan, pengadilan boleh menceraikan antara keduanya. Alasannya, ialah hadits riwayat Abu Hafsh dengan sanad Zaid bin Aslam yang berkata, “Ketika Umar Ibnu Khaththab meronda di kota Madinah, ia melewati halaman rumah seorang perempuan yang sedang bersenandung:
“Malam itu begitu panjang dan tepi langit begitu hitam. Sudah lama aku tiada kawan untuk bersendau gurau. Demi Allah, kalaulah bukan karena takut kepada Allah tentu kaki-kaki tempat tidur itu sudah bergoyang-goyang. Tetapi, oh Tuhanku! Rasa malu cukup menahan diriku. Namun suamiku sungguh lebih mengutamakan mengendarai untanya.”
Umar lalu menanyakan tentang perempuan ini. Ada orang yang menceritakan keadaannya kepada Umar, “Dia perempuan seorang diri. Suaminya telah pergi berperang di jalan Allah. Umar lalu mengirim surat kepada suaminya supaya pulang. Umar lalu mendatangi Hafsah dan berkata, “Wahai putriku, berapa lamakah seorang perempuan ditinggal lama oleh suaminya?” Hafsah menjawab “Subhanallah! Orang seperti ayah bertanya masalah ini kepada orang seperti aku?”
Umar berkata, “Seandainya aku tidak ingin memperhatikan kepentingan kaum Muslimin niscaya aku tidak akan bertanya hal ini kepadamu.” Hafsah menjawab, “5 – 6 bulan.” Umar lalu menetapkan waktu tugas bagi tentara untuk bertempur selama 6 bulan. Sebulan untuk pergi, 4 bulan untuk tinggal di medan perang, dan sebulan lagi untuk pulang menemui istrinya.
Imam Ghazali berkata,
“Sepatutnya suami menjimak istrinya pada setiap 4 malam satu kali. Ini lebih baik karena batas poligami adalah empat orang. Akan tetapi, boleh diundurkan dari waktu tersebut, bahkan sangat bijaksana kalau lebih dari satu kali dalam empat malam atau kurang dari ini sesuai dengan kebutuhan istri dalam memenuhi keinginan seksualnya. Hal ini karena menjaga kebutuhan seks istri merupakan kewajiban suami, sekalipun tidak berarti ia harus minta bersetubuh, sebab memang sulit untuk meminta yang demikian dan memenuhinya.”
Aktivitas seksual bisa dilakukan sering atau jarang sesuai kebutuhan. Sedangkan memeliharanya adalah menjadi kewajiban suami. Yang demikian ini karena sulitnya tuntutan itu dan pemberianya. Masih dalam konteks ini, permasalahan yang muncul adalah ketika sang suami tidak dapat melakukan kewajibanya karena mengalami sakit yang dapat menghalangi atau tidak memungkinkan dilakukannya jima. Wallahualam. []
Umar lalu menanyakan tentang perempuan ini. Ada orang yang menceritakan keadaannya kepada Umar, “Dia perempuan seorang diri. Suaminya telah pergi berperang di jalan Allah. Umar lalu mengirim surat kepada suaminya supaya pulang. Umar lalu mendatangi Hafsah dan berkata, “Wahai putriku, berapa lamakah seorang perempuan ditinggal lama oleh suaminya?” Hafsah menjawab “Subhanallah! Orang seperti ayah bertanya masalah ini kepada orang seperti aku?”
Umar berkata, “Seandainya aku tidak ingin memperhatikan kepentingan kaum Muslimin niscaya aku tidak akan bertanya hal ini kepadamu.” Hafsah menjawab, “5 – 6 bulan.” Umar lalu menetapkan waktu tugas bagi tentara untuk bertempur selama 6 bulan. Sebulan untuk pergi, 4 bulan untuk tinggal di medan perang, dan sebulan lagi untuk pulang menemui istrinya.
Imam Ghazali berkata,
“Sepatutnya suami menjimak istrinya pada setiap 4 malam satu kali. Ini lebih baik karena batas poligami adalah empat orang. Akan tetapi, boleh diundurkan dari waktu tersebut, bahkan sangat bijaksana kalau lebih dari satu kali dalam empat malam atau kurang dari ini sesuai dengan kebutuhan istri dalam memenuhi keinginan seksualnya. Hal ini karena menjaga kebutuhan seks istri merupakan kewajiban suami, sekalipun tidak berarti ia harus minta bersetubuh, sebab memang sulit untuk meminta yang demikian dan memenuhinya.”
Aktivitas seksual bisa dilakukan sering atau jarang sesuai kebutuhan. Sedangkan memeliharanya adalah menjadi kewajiban suami. Yang demikian ini karena sulitnya tuntutan itu dan pemberianya. Masih dalam konteks ini, permasalahan yang muncul adalah ketika sang suami tidak dapat melakukan kewajibanya karena mengalami sakit yang dapat menghalangi atau tidak memungkinkan dilakukannya jima. Wallahualam. []
Baca juga : Jika Suami Menolak Saat Istri Minta Itu
Sumber: islampos.com