Kisah Nenek 65 Tahun Masih Kuat Menjual Gorengan - Jumat (3/7) tak lebih dari pukul 02.00 Wita dinihari, terlihat jelas seorang wanita renta tengah terbaring di sebuah kursi panjang di bilangan Jalan Jendral Sudirman, Tanjung Selor.
Dinihari itu, Jalan Jenderal Sudirman sudah terlihat lengang dari hiruk pikuk kendaraan. Hanya ada segerombolan anak-anak muda yang tengah asyik duduk di tepian Sungai Kayan.
Kulitnya keriput, dibalut selendang agar sedikit empuk, permukaan kursi kurang lebih sepanjang 1,5 meter dilapisi potongan kardus yang masih lumayan mulus.
Dibelakang kursi terdapat sebuah lapak kayu. Permukaannya digunakan sebagai wadah menyimpan sejumlah peralatan minum dan teh hangat sebagai teman begadang.
Wanita renta tadi ternyata seorang penjual gorengan. Dari segi usia, jelas nenek tua ini tempatnya sudah harus di rumah menikmati buah kerja anak cucunya.
Bukan bekerja di luar menyatu dengan hawa dingin yang luar biasa. Namun tidak demikian bagi nenek yang mengaku bernama Kasinem itu.
Semangatnya patut diacungi jempol. Ia mulai menjual gorengan sejak pukul 17.00 wita sore hari hingga pukul 02.00 Wita dinihari. Kadang, jika jualan tak habis, nenek Kasinem masih bisa bertahan hingga pukul 03.00 Wita dinihari.
“Capek juga sih, tapi saya sudah biasa begini. Kalau tidak kerja, badan jadi capek semua,” sebut nenek kelahiran 1950 di Jawa Tengah ini. Jelas, ia sekarang berumur 65 tahun.
Nenek Kasinem mengaku mengaku hampir 10 tahun sudah berjualan gorengan di Jalan Jenderal Sudirman.
Bermodalkan kursi, lapak kayu dan sebuah gerobak tempat menyimpan gorengan sudah cukup memberinya pemasukan sekitar Rp 300 ribu perhari.
“Kalau ramai ya kadang segitu. Kalau sepi ya bisa Cuma Rp 200 ribu sehari,” ucapnya dengan suara yang masih lumayan jelas dan lancar.
Kasinem tinggal dengan suaminya bernama Harto Sudarmo tak jauh dari tempat ia berjualan. Dia ingat persis bersama suaminya hijrah dari Jawa Tengah tanggal 11 Maret 1984 menuju Desa Kelubir Kecamatan Tanjung Palas Kabupaten Bulungan. Waktu itu sebutnya, sedang berlangsung program transmigrasi.
Tiga orang anaknya yang memasuki masa sekolah memaksa Kasinem mengais rejeki di Tanjung Selor, ibukota Kaltara saat ini. Ia menjatuhkan pilihannya dengan menjual gorengan.
“Jadi dari pisang goreng itu seribu rupiah tiga biji sampai sekarang saya sudah jualan. Sudah lebih 10 tahun sudah. Hasil jualan itulah saya biayai sekolah anak saya,” ujarnya.
Nenek Kasinem betul-betul gigih. Berkat berdagang gorengan ia sudah dapat membeli lahan di Jalan Sengkawit seharga Rp 20 juta.
Lahan itu menurutnya suatu saat nanti bisa ia gunakan untuk bercocok tanam dan beternak bebek.
“Kalau sekarang kan masih menjual gorengan dulu. Karena belum ada cucu yang mau lanjutkan. Kan sayang juga. Tapi tidak apa-apalah. Banyak gerak badan jadi sehat. Semangat hidup juga jadi bertambah,” sebutnya.
Nenek Kasinem hanya tinggal bersama sang suami yang juga berumur 65 tahun di sebuah rumah yang berada dilokasi masuk gang, tak jauh dari tempat ia menjajakan gorengannya.
Sedang tiga orang anaknya Yulianto (37), Suwanto (35), dan Tri Wibowo (32) sudah menjalani hidup masing-masing.
“Kalau anak pertama sering sore ke sini liatin saya. Dia kan kerjanya di bandara (Tanjung Harapan). Anak kedua di Malinau, yang ketiga katanya berurusan sama polisi di Berau,” sebutnya bernada lirih.
“Saya tidak berharap anakku kasih uang buat saya. Yang penting semua anak-anakku bisa mandiri. Selagi saya masih bisa kerja, saya akan kerja. Karena menang dari kecil di Jawa sudah biasa kerja keras menggiling padi pakai lesung,” ujarnya.
- tribun kaltim-