-->

Senin, 11 Januari 2016

Prostitusi Kelas Atas di Kaltim, Gampang-gampang Susah

Prostitusi Kelas Atas di Kaltim, Gampang-gampang Susah

PELAKUNYA datang dari berbagai kalangan. Mulai figur publik, masyarakat awam, berpendidikan rendah, hingga lulusan sarjana. Mereka yang disebut sebagai pekerja seks komersial (PSK) tak melulu dari kalangan berpenghasilan pas-pasan.

“Ada juga ada yang level atas. Ada kelas-kelasnya, ini yang kami cermati. Ada yang kelas bawah pendidikan dan ekonominya, tapi juga ada yang menengah ke atas. Ini cara kerja mereka (PSK). Gaya hidupnya juga berbeda,” sebut Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kaltim, Eka Komariah Kuncoro, kepada Kaltim Post (Jawa Pos Group).


Dari hasil penelusuran tim P2TP2A Kaltim, perempuan ramah itu mengungkapkan, ada korelasi antara level pendidikan dan tuntutan hidup. Semakin tinggi pendidikan, pergaulannya juga berbeda. Dengan klasifikasi seperti ini, cara oknum PSK dalam menjalankan bisnisnya juga lebih rapi. Tetapi, modus seperti ini perlahan diungkap kepolisian.

Terbaru, aparat berhasil membongkar prostitusi online yang melibatkan artis Nikita Mirzani dan Puty Revita, yang disebut pernah mewakili Kaltim dalam sebuah ajang kecantikan tingkat nasional.

Kemudian, 22 Desember2015, Polda Kaltim juga membongkar sindikat prostitusi di sebuah rumah toko (ruko) di Jalan AM Sangaji, Samarinda. “Cara mereka (PSK) menjalankan bisnisnya mulai lebih elegan. Katakanlah, cara mereka menjajakan diri tidak begitu kentara. Informasi ini kami dapat setelah bergaul dengan mereka,” sebutnya.

Karena itu, membongkar sindikat prostitusi kelas atas disebut Komariah gampang-gampang sulit. Sebab, para PSK ini pandai menyembunyikan identitas sebenarnya di masyarakat.

"Di kalangan atas, ini (PSK) ada. Jadi tidak dimonopoli oleh orang-orang karena kemiskinan tadi. Kalangan menengah atas ada karena faktor keserakahan. Faktor need (kebutuhan) yang semakin meningkat. Selalu merasa kurang dan ingin semuanya terpenuhi dengan cara apapun,” jelasnya. Terbongkarnya kasus prostitusi online yang melibatkan artis serta rumah bordil di Samarinda, disebut Komariah patut dirisaukan.

Pasalnya, kasus trafficking kini bukan hanya ditemukan di daerah berpenduduk jutaan orang, seperti di Jakarta. Tapi juga mulai masuk ke Kaltim. Dua kota, Samarinda dan Balikpapan kini mulai terkontaminasi.

“Kalau di Jakarta melibatkan artis, di daerah mulai melibatkan anak di bawah umur. Mereka bukan hanya sebagai komoditas, tetapi juga menjual temannya kepada orang dewasa. Mereka menjadi calo ke germo,” tutur Komariah miris.

Mantan anggota DPRD Kaltim ini menyebut, peristiwa yang dipertontonkan adalah fenomena yang menyayat. Kemiskinan dan kecintaan terhadap suatu benda yang berlebihan membuat seseorang terjerembab.

“Ada paham-paham yang membuat mereka bangga yang sebenarnya mereka tidak mampu. Sehingga mereka berusaha memenuhinya dengan cara apapun,” tuturnya.

Menyingkap sepak terjang kehidupan publik figur yang telah “menghibahkan” tubuhnya kepada pria hidung belang, Kaltim Post melakukan riset di Samarinda. Survei dilakukan pekan lalu kepada 53 responden yang berusia di atas 24 tahun. Menggunakan metode random sampling dengan taraf kepercayaan sebesar 90 persen dan margin of error sebesar 11 persen, ditemukan berbagai persepsi di masyarakat.

Terkait pantas atau tidak artis yang berprofesi sebagai PSK disebut sebagai korban human trafficking, sebanyak 73,6 persen memilih menjawab tidak. Sedangkan 13,2 persen responden masing-masing menjawab, ya dan tidak tahu. Bagaimana dengan penindakan hukum? Sebanyak 92 persen responden menyebut setuju pelaku PSK diproses hukum.

Bahkan, 64 persen responden menyebut tidak ada keadilan hukum bagi artis yang berprofesi PSK. Terhadap mantan Miss Kaltim berinisial PR yang terlibat prostitusi, 75,5 persen mengaku kejadian itu sangat memalukan.

Mendengar opini beragam itu, Eka Komariah menuturkan, reaksi masyarakat wajar dan harus jadi perhatian. Hanya, ketika bicara proses hukum terhadap artis atau masyarakat awam yang nyambi jadi PSK harus cermat. “Tidak mudah. Kalau kita bicara hukum, harus terpenuhi unsur hukumnya apa. Harus ada bukti, saksi, dan pengakuan. Tiga hal yang tak mungkin didapatkan dengan mudah,” jelasnya.

Pelaku trafficking ketika diproses hukum, akan lebih mudah diproses ketika korbannya adalah anak di bawah umur. Sedangkan yang baru terjadi di Samarinda, objeknya sebaliknya. PSK yang ditangkap berusia 25 tahun.
“Kalau yang menjual orang dewasa dan korbannya anak di bawah umur itu lebih mudah. Yang kami temukan di Kutai Kartanegara, germonya tidak bisa diapa-apain. Inilah yang membuat nyali ciut anak-anak untuk melapor,” bebernya.

Sebaliknya, kasus dengan mudah diketahui apabila korban mengalami sakit, seperti pendarahan dan dibawa ke rumah sakit. “Untuk yang dengan sadar melakukan kegiatan itu (PSK) maka saya anggap tidak bisa disebut korban. Mereka bisa disebut pelaku tapi juga korban. Tentu bentuk perlakuan hukumannya juga berbeda. Unsurnya beda. Ada yang bisa dibawa ke polisi,” katanya.

Perempuan berkacamata tersebut mengungkapkan, harus ada klasifikasi antara pelaku dan yang memang menjurus sebagai PSK. Jadi, perlakuan hukumnya juga beda. “Meskipun usianya di bawah umur, bisa saja diproses hukum jika mereka pelaku,” katanya.

Dari pengembangan kasus yang dilakukan P2TP2A Kaltim, salah satu penyebab menggeliatnya prostitusi eksklusif karena jeratan hukum yang dianggap ringan. Bagi muncikari, maksimal hukuman yang diberikan “hanya” satu tahun empat bulan. Itu bila mengacu pada Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP.

“Memang masih kurang. Belum memberikan efek jera. Tidak maksimal, apalagi kasus yang melibatkan hubungan sedarah. Harusnya ada maksimal ditambah pemberatan. Perlu ditinjau kembali sanksi hukumnya sehingga ada efek jera,” tuturnya. (riz/zal/k8/ jpnn )

Previous
Next Post »